Rabu, 12 September 2012

Reforma Agraria

TUGAS PEMBANGUNAN PERTANIAN

CRITICAL REVIEW

Tinjauan Kritis “Agrarian Reforms In Eastern European Countries: Lessons From International Experience” Dan Relevansi Dengan Kasus di Indonesia
(Klaus Deininger, Journal of International Development 14, 987-1003 (2002))


SRIYANI WAHYUNI TANGAHU
H353110021


ipb_logo


MAYOR ILMU EKONOMI PERTANIAN
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2012

PENDAHULUAN
Perubahan dalam struktur ekonomi dan struktur sosial dibanyak negara Eropa Tengah dan Timur (CEE) dan CIS berdampak besar pada kondisi alami sektor pedesaan dan terbukanya kesempatan kerja bagi penduduk pedesaan. Perubahan tersebut dipicu oleh kejadian runtuhnya tembok Berlin. Sebelum tahun 1990, banyak dari negara-negara tersebut  memiliki kekuasaan ”de facto” untuk menghapuskan hak properti pribadi baik kepemilikan Negara maupun individu. Produksi pertanian sebagian besar berupa kasus kolektif yang menyebabkan inefisiensi dikarenakan terdapatnya free riding, moral hazard, dan kurangnya insentif individu untuk berproduksi. Dalam usahatani kolektif (sekitar 2000 ha, 500 pekerja), bersifat kurang transparan sehingga menambah kesulitan untuk melaksanakan pengawasan. Tujuannya adalah untuk menemukan target yang sudah ditentukan dengan sedikit pertimbangan untuk memperoleh keuntungan (profit) atau batasan anggaran, dan pertahanan mereka mengandalkan pada subsidi dan koneksi politik.
Pengurangan subsidi bagi produsen dan konsumen, liberalisasi harga, pengurangan permintaan akibat penurunan pendapatan, rendahnya permintaan ekspor karena kondisi Uni Soviet yang signifikan mengalami penurunan dalam perdagangan untuk sektor pertanian di seluruh wilayahnya. Akibatnya penggunaan input dan output dari sektor pertanian mengalami penurunan yang serius dibandingkan dengan sektor nonpertanian (Csaki, 2000). Perluasan produksi pertanian dapat pulih kembali sejak 1990 yang mempengaruhi tingkat ekonomi, pembangunan, masalah makro, dan mengejar kepentingan politik pribadi sehingga dapat dikatakan perluasan politik seperti ini benar-benar dapat terjadi di wilayah itu. Land reform dan perubahan struktur pertanian memainkan peran yang penting dalam proses tersebut. Hal ini disebabkan karena pentingnya lahan sebagai aset bagi masyarakat desa dan hubungannnya dengan land markets sebagai dasar dalam perkembangan pasar keuangan.
Berkaitan dengan land reform, Tabel 2 pada artikel menunjukkan share lahan yang dioperasikan oleh petani individu (atau bisa dikatakan bagian lahan yang dikuasai secara pribadi) dan berbeda di antara Negara CEE dan CIS. Dari Tabel 2 tersebut, bisa dilihat bahwa share lahan yang dikuasai secara pribadi oleh petani individu di Negara-negara CEE meningkat dari 21% (1990) ke 78% (2000). Hal ini disebabkan karena adanya transfer lahan dari large farms ke petani individu (pelaksanaan program land reform) dan total transfer lahan tersebut sekitar 33 mn ha. Sedangkan di Negara-negara CIS meningkat dari 4% (1990) ke 22.4% (2000). Hal ini juga disebabkan karena adanya program land reform dan total lahan yang ditransfer yaitu sekitar 442 mn ha. Tujuan dari artikel ini yaitu untuk membandingkan pengalaman land reform di Negara-negara CEE dan CIS dan bagaimana tantangan di masing-masing Negara serta strategi ke depannya seperti apa.

RINGKASAN
Sejarah land reform mengilustrasikan mengapa transformasi hacienda system lebih sulit dibandingkan daripada sistem tenant estates. Variasi perkembangan di CEE dan CIS mengilustrasikan bahwa masalah dalam hacienda system yaitu akses pasar, investasi, dan ketahanan politik merupakan hal-hal pokok yang menjadi penghalang dalam penataan kembali pedesaan. Masalah-masalah tesebut dapat dijelaskan sebagai berikut:
1.      Distorsi kebijakan dan ketidaksempurnaan pasar
Adanya distorsi yang berkelanjutan baik secara implisit maupun eksplisit seperti proteksi pertanian, subsidi kredit, dan/atau ketidaksempurnaan pasar memberikan hasil yang berbeda untuk masalah akses pasar bagi usahatani luas yaitu menyebabkan harga tanah di atas nilai kapital dari keuntungan pertanian, mengurangi keberlanjutan dari perbaikan manfaat, membuat hal itu menguntungkan untuk menjual lahan yang baru diperoleh. Akses kredit yang terbatas dan akses untuk pasar yang lainnya, serta lemahnya hak properti menyebabkan semakin maraknya penjualan lahan oleh petani penerima lahan program reformasi lahan.
2.      Kurangnya investasi
Transformasi dari usahatani lahan luas ke bisnis pertanian memerlukan perubahan dalam pola produksi, cabang usahatani, dan ketersediaan infrastruktur. Selain itu untuk memperoleh akses lahan dan aset yang produktif, petani penerima lahan tersebut membutuhkan akses modal, bantuan teknis, akses pasar output, dan asuransi. Tanpa adanya dukungan infrastruktur dan mekanisme dari paket investasi tersebut maka sulit untuk memperoleh keuntungan.
3.      Reformasi politik
Masalah land reform tidak jarang dikaitkan dengan reformasi politik, dimana reformasi seperti itu menyebabkan pertentangan dengan kekuasaan politik sehingga tidak jarang ditemui praktik perlawanan dengan lawan politik ataupun dalam konteks perubahan revolusi.
A.    Mekanisasi Land Reform di negara CEE dan CIS
Proses transformasi tanah pertanian dapat dirinci dalam tiga dimensi yaitu: (1)  Pengakuan atas hak properti pribadi, (2) Mekanisme kepemilikan lahan dan alokasi lahan tersebut untuk kegiatan produksi, (3) Transfer kepemilikan lahan. Kriteria di atas digunakan untuk mengidentifikasikan perbedaan pelaksanaan land reform antara CEE dan CIS. Negara CEE membolehkan kepemilikan lahan secara penuh untuk semua tipe lahan dan secara umum memilih untuk privasi lahan dengan cara restitusi lahan tersebut dalam bentuk bidang lahan. Ada beberapa pengecualian di Hungaria dan Romania dimana digunakan strategi gabungan dengan cara lahan direstitusi tetapi bagiannya didistribusikan secara bebas kepada para pekerja pertanian demi kepentingan keadilan sosial. Di Polandia, kepemilikan tanah negara sudah tidak ada lagi ketika Albania menerapkan strategi radikal yang didasarkan pada redistribusi penuh lahan ke pengolah lahan. Adanya dasar yang jelas dan sah serta dokumen resmi kepemilikan tanah secara relatif menjadikan implementasi restitusi menjadi tertib, lain halnya dengan kasus di Nicaragua dimana cakupan tuntutan restitusi tidak terbatas  dapat menimbulkan masalah konflik lahan dan kurangnya kepercayaan terhadap sistem land tenure.
Dengan adanya struktur fragmentasi lahan yang masih tinggi pada periode sebelum Perang Dunia II bersama dengan aturan pembagian warisan yang rumit, menyebabkan proses restitusi mengarah ke struktur fragmentasi lahan. Di negara-negara dengan tingkat ekonomi pembangunan yang lebih tinggi, banyak pemilik tanah yang baru tidak bermaksud untuk mengolah lahan mereka dan tingkat pemilik tanah yang absentee semakin meningkat.
Karakterisistik Negara-negara CIS tampak bervariasi berkenaan dengan  pengakuan hak kepemilikan pribadi, proses kepemilikan pribadi lahan pertanian, dan transfer lahan. Hanya beberapa dari Negara CIS yang mengakui hak kepemilikan pribadi atas lahan yaitu Armania, Georgia, Moldova, Azerbaijan, Russia, Ukraine, Kyrgyzstan, dan Turkmenistan. Tajikistan dan Uzbekistan mengakui tidak adanya hak kepemilikan pribadi apapun, sementara Kazakhstan dan Belarus mengakui hak-hak untuk lahan milik rumahtangga saja yang luasannya kurang dari 1 ha dan digunakan untuk mencukupi kebutuhan konsumsi rumahtangga.
Sebagian besar negara CIS melaksanakan strategi privatisasi lahan dengan cara distribusi lahan. Dengan pengecualian untuk Armenia dan Georgia mendistribusikan lahan secara langsung dalam bentuk bidang lahan, mantan pekerja dalam usahatani kolektif menerima bagian yang pasti dari lahan yang mereka usahakan (aset) tanpa menspesifikasikan bidang lahan secara konkrit. Masing-masing Negara CIS memiliki cara yang berbeda dalam hal pendistribusian lahan dan hal ini merupakan hal yang kritis karena menyangkut juga dengan privatisasi lahan yang kemudian akan berkaitan dengan perubahan proses produksi dan struktur operasional.
Negara CIS dibagi dalam dua bagian yaitu: (1) Negara-negara reformasi radikal, seperti Armenia, Georgia, Moldova, Kyrgyzstan, dan Azerbaijan, dimana Negara-negara tersebut mendistribusikan lahan dengan seluas-luasnya. Hal ini sangat penting dan memberikan kontribusi bagi petani subsisten dan kepercayaan yang tinggi membantu mengurangi kemiskinan selama masa transisi (World Bank, 2002), (2) Negara Rusia, Ukraine, Kazakhstan, Tajikistan, Turkmenistan, Uzbekistan, dan Belarus, disamping privatisasi lahan, sedikit banyak penggantian nama dari suatu usaha disebabkan cakupan yang terbatas dalam mentransformasi bagian lahan secara aktual.
B.     Implikasi
Satu implikasi penting dari permasalahan-permasalahan yang telah diuraikan sebelumnya yaitu bahwa untuk meningkatkan produktivitas pertanian dan kesejahteraan pedesaan akan bergantung pada cakupan perbaikan fungsi lahan dan faktor pasar dalam pedesaan itu sendiri. Di Negara CEE dan CIS, petani-petani yang tergabung dalam suatu asosiasi (collective) mempunyai akses kekuatan politik dan penguasaan input produksi yang besar dibandingkan petani-petani individu. Hal ini menyebabkan kurangnya motivasi bagi petani-petani untuk keluar dari kelompoknya dan berusaha sendiri (individu).
Pengalaman yang dialami oleh Negara-negara CEE dan CIS mengilustrasikan suatu asumsi awal dimana privatisasi lahan akan menyebabkan pembentukan struktur pertanian individu/keluarga (family farming) yang cepat, dimana dapat dijelaskan sebagai berikut: (1) Studi-studi terdahulu mengarah kepada family farming yang lebih efisien yang terlaksana pada kondisi pasar yang baik dan kesulitan dalam pembentukan pasar yang baik mirip dengan kesulitan dalam land reform dalam konteks hacienda system, (2) Jika house plots memberikan jaminan dasar, ekuitas benefit dari pembagian lahan oleh pertanian besar lebih terbatas dibandingkan dengan  negara-negara yang land reformnya dilaksanakan untuk membantu penyediaan lahan bagi petani yang kurang bahkan tidak memiliki lahan, dan (3) Sekalipun family farms lebih efisien daripada large farms, pembagian lahan oleh large farms, kecuali di Negara miskin, tidak cukup untuk menjadikan pendapatan family farms komparabel pada tingkat nasional atau di atas garis kemiskinan. Sehingga, bisa dikatakan untuk kasus di Negara CEE dan CIS, pelaksanaan land reform bukan merupakan hal utama dalam perubahan struktur pedesaan.
C.    Hak Kepemilikan Lahan dan Pembangunan Pasar Lahan
Dalam program land reform yang tradisional, pembuatan keputusan dalam alokasi faktor produksi diselesaikan dengan cara cost-effective yang merupakan penentu utama dalam kesuksesan jangka panjang dan berkelanjutan. Di Negara CEE dan CIS, tantangan yang berat sebagai akibat perubahan yang cepat bagi struktur pertanian yaitu ancaman terjadinya depopulate wilayah pedesaan. Banyak Negara CEE dan CIS membolehkan transfer kepemilikan atau hak guna walaupun dalam praktiknya masih terbatas. Pengalaman Negara CEE dan CIS tersebut mengilustrasikan bahwa hal ini kritis untuk menjamin sedikitnya keamanan dan transfer dari hak guna, untuk mengurangi transaction cost untuk memfasilitasi terbentuknya  pasar.



CRITICAL REVIEW
Artikel ini membahas tentang Reforma Agraria (Agrarian Reforms) di Negara CEE (Central and Eastern Europe) dan CIS (Commonwealth of Independent States). Hal-hal yang dijelaskan dalam artikel ini yaitu mengenai masalah atau tantangan yang dihadapi oleh Negara CEE dan CIS dalam rangka pembangunan pedesaaan, perbedaan mekanisasi land reform di antara Negara-negara tersebut, implikasinya, dan hak kepemilikan lahan serta pembangunan pasar lahan. Dalam artikel ini dijelaskan bahwa terdapat tiga hal pokok yang menjadi tantangan dalam rangka perubahan struktur pedesaan yaitu distorsi kebijakan dan kesempurnaan pasar, kurangnya investasi, dan reformasi politik. Ketiga hal tersebut berkaitan dengan akses kredit, akses informasi pasar, akses input produksi, investasi pertanian, dan land reform. Namun di antara hal-hal tersebut, yang menjadi pokok permasalahannya yaitu pelaksanaan land reform.
Mekanisasi pelaksanaan land reform di Negara CEE dan CIS dibedakan berdasarkan (1)  pengakuan atas hak properti pribadi, (2) mekanisme kepemilikan lahan dan alokasi lahan tersebut untuk kegiatan produksi, dan (3) transfer kepemilikan lahan, seperti yang telah diuraikan di atas. Inti dari pelaksanaan land reform ini yaitu untuk membantu petani-petani yang kekurangan bahkan tidak memiliki lahan sehingga nantinya juga bisa memiliki akses terhadap pasar dan sangat diharapkan dapat berusaha secara efisien yang pada akhirnya dapat meningkatkan pendapatannya dan berada di atas garis kemiskinan. Menurut artikel ini, family farms memang lebih efisien daripada large farms sehingga dilaksanakan land reform namun ternyata land reform bukan merupakan faktor utama yang mempengaruhi kesejahteraan family farms sehingga walaupun sudah dilaksanakan land reform, pendapatan family farms belum komparabel pada tingkat nasional ataupun berada di atas garis kemiskinan.
Pelaksanaan land reform di Negara CEE dan CIS, masing-masing dihadapkan pada tantangan dan bagaimana caranya untuk menghadapi tantangan tersebut. Bagi Negara CEE, tantangan kritis yang dihadapi yaitu membuat perkembangan yang berkaitan dengan pendirian struktur kepemilikan pribadi untuk menggabungkan prestasi dalam konteks strategi yang besar bagi pembangunan pedesaan dan hal ini akan membantu mengatasi terjadi depopulate wilayah pedesaan secara cepat, dan proses ini mencegah kebijakan intervensi yang bisa saja menyebabkan distorsi.
Di Negara CIS, isu-isu yang sedikit straightforward dan solusi terbaik pertama memungkinkan untuk jarang terjadi. Sekalipun perkembangannya tidak tetap, definisi dari transfer hak properti berguna bagi banyak Negara dan signifikansi porsi (bagian) lahan (residen, komersial, industri, dan pertanian) dalam kekuasaan pribadi, menyebabkan kemunculan berangsur-angsur secondary market. Perkembangan yang pesat dapat dicapai dengan cara memanfaatkan peluang dan menekan kompetisi lokal. Kecenderungan terbaru terhadap desentralisasi yang lebih besar adalah mungkin untuk mendukung proses tersebut dalam beberapa respek. Pemerintah daerah dapat lebih mungkin untuk menyusun program demonstrasi, sebagaimana mereka akan mendapatkan manfaat lebih secara langsung dari kesuksesan yang mereka peroleh sehingga menjadi  dorongan (contoh) bagi unit pemerintah yang lain. Namun hal ini bukan merupakan solusi yang jelas.
Pengalaman sejarah memberi pelajaran bahwa suatu pembaruan agrarian yang hanya berhenti pada masalah redistribusi tanah ternyata justru menyebabkan produksi menurun untuk beberapa tahun. Hal ini disebabkan karena infrastruktur yang menunjang pembaruan itu semula belum dipikirkan sejak awal. Karena itu kemudian disadari bahwa program-program penunjang itu harus menjadi satu paket dengan program pembaruan secara keseluruhan, termasuk ke dalamnya program-program pasca redistribusi, antara lain perkreditan, penyuluhan, pendidikan, dan latihan, teknologi, pemasaran, dan lain-lain (Wiradi, 2012).
Dalam beberapa kasus, memang untuk beberapa tahun produksi pertanian menurun (misalnya, di Taiwan), namun sesudah itu meningkat pesat. Sejumlah besar rakyat desa yang semula buruh tani menjadi petani pemilik penggarap, mula-mula masih terasa canggung. Namun dalam jangka panjang mereka malahan berkembang menjadi pengelola usahatani yang rasional dan bertanggung jawab (A.T. Mosher, 1976).
Berdasarkan pendapat dari Wiradi dan A.T. Mosher, maka dapat dikatakan bahwa keduanya sejalan dengan pendapat pada artikel ini dimana redistribusi tanah tidak cukup untuk mendukung peningkatan produksi petani yang pada akhirnya berdampak pada pendapatan, sehingga yang terjadi adalah sebaliknya. Wiradi menambahkan bahwa selain redistribusi lahan, hal-hal yang perlu diperhatikan yaitu akses kredit, penyuluhan, pendidikan dan latihan, teknologi, pemasaran, dan lain-lain. Saya juga setuju dengan pendapat pada artikel ini yaitu redistribusi lahan harus didukung oleh hal-hal yang telah disebutkan sebelumnya namun perlu saya tambahkan bahwa peran pemerintah dan semangat serta kerja sama dari petani itu sendiri juga harus ada. Peran pemerintah yang dimaksud yaitu peran yang benar-benar mementingkan kepentingan petani dan tidak berlandaskan pada kepentingan politik yang terselubung, karena memang masalah land reform ini sering dikaitkan dengan kekuasaan politik. Pada intinya semua pihak harus bekerja sama dengan baik agar tujuan sebenarnya dari land reform dapat tercapai sehingga diharapkan pendapatan dan kesejahteraan petani dapat meningkat secara signifikan, tidak seperti yang dijelaskan dalam artikel ini yang ternyata pendapatan meningkat tidak signifikan dan masih belum sejahtera.
Jadi, menurut saya pelaksanaan land reform baik di Negara CEE, CIS, Indonesia, dan juga di Negara-negara lainnya harus direncanakan secara serius terlebih dahulu sebelum dilaksanakan. Perencanaan serius yang dimaksudkan yaitu mulai dari tujuan land reform, hal-hal yang mendukung land reform, subjek dan objek land reform harus jelas, kendala-kendala yang mungkin dihadapi serta dipersiapkan alternatif solusi yang benar-benar dapat mengurangi bahkan menghilangkan kendala, serta dampak dari land reform. Perlu ditambahkan juga komitmen dalam pelaksanaan land reform sangat diperlukan bagi semua pihak yang terlibat. Tantangan seperti distorsi kebijakan dan ketidaksempurnaan pasar menurut saya bukan karena adanya intervensi pemerintah namun karena komitmen pemerintah itu sendiri yang belum kuat dalam pelaksanaan land reform sehingga kekuasaannya melebihi batas dan tidak sesuai sehingga menyebabkan distorsi maka menurut saya intervensi pemerintah perlu namun hanya dalam hal penetapan kebijakan serta melakukan pengawasan.
PELAKSANAAN LAND REFORM DI INDONESIA
Land reform di Indonesia pernah diimplementasikan dalam kurun waktu 1961 sampai 1965, namun kurang berhasil (Rajagukguk, 1995). Landasan hukum pelaksanaan land reform di Indonesia adalah UUPA No.5 tahun 1960, yaitu pasal 7 dan 17 untuk sumber pengaturan pembatasan luas tanah maksimum, pasal tentang larangan absentee, dan pasal 53 yang mengatur hak-hak sementara atas tanah pertanian. Saat program land reform tersebut diluncurkan, kondisi politik di Indonesia sedang labil. Pada saat itu dikenal pendekatan ”politik sebagai panglima”, dimana tiap kebijakan pemerintah dimaknai dalam konteks politik. Partai komunis Indonesia (PKI) kemudian menjadikan land reform sebagai alat ampuh untuk memikat simpatisan, dimana PKI menjanjikan tanah sebagai faktor penarik untuk perekrtutan anggota. Pola seperti ini menimbulkan dua anggapan yang berbeda antara petani dengan luas lahan garapan yang sempit dan petani dengan lahan garapan yang luas. Bagi petani yang memiliki lahan garapan yang luas, land reform merupakan ancaman bagi mereka baik secara politik maupun ekonomi yaitu kekhawatiran terhadap akan menurunnya luas penguasaan tanah mereka yang berimplikasi kepada penurunan pendapatan keluarga dan kesejahteraan (Syahyuti, 2004).
Program land reform hanya berjalan intensif dari tahun 1961 sampai 1965. Namun demikian, pemerintahan Orde Baru yang berkuasa pada masa berikutnya mengklaim bahwa land reform tetap dilaksanakan meskipun secara terbatas. Dalam makalah Posterman (2002) diuarikan, bahwa dari tahun 1960 sampai 2000 secara akumulatif tercatat telah berhasil dilakukan distribusi lahan dalam konteks land reform seluas 850.128 ha. Jumlah rumahtangga tani yang menerima adalah 1.292.851 keluarga, dengan rata-rata keluarga menerima 0,66 ha (Syahyuti, 2004).
Khusus selama era pemerintahan Orde Baru, untuk menghindari kerawanan social politik yang besar, maka land reform diimplementasikan dengan bentuk yang sangat berbeda. Peningkatan akses petani kepada tanah dilakukan melalui kebijakan berupa penyeimbangan sebaran penduduk dengan luas tanah, dengan cara memindahkan penduduk ke daerah-daerah yang tanahnya luas melalui transmigrasi. Program ini kemudian dibarengi dengan program pengembangan PIR (Perkebunan Inti Rakyat). Luas daerah yang diberikan kepada transmigran dan petani plasma mengikuti ketentuan batas minimum penguasaan yaitu 2 ha lahan garapan per keluarga (Syahyuti, 2004).
Pembangunan agraria secara umum mensyaratkan dua hal pokok yaitu komitmen pemerintah yang kuat dan tersedianya modal sosial (social capital) misalnya berkembangnya civil society yang memadai. Dapat dikatakan, keduanya ini saat ini masih dalam kondisi tidak siap. Hambatan lain datang dari intervensi yang tak terbantahkan dari ideologi kapitalisme, khususnya melalui instrumen pasar global, yang telah menembus seluruh aspek kehidupan, termasuk dalam hal sistem agraria suatu negara. Jika selama ini pemerintah yang menjadi penguasa terhadap petani dengan menggunakan tanah sebagai alat politiknya, terutama dalam era “Tanam Paksa”, maka di era pasar bebas ketika komoditas ditentukan oleh kehendak pasar, maka pasarlah yang menjadi penguasa. Dengan kata lain, sistem agraria yang akan berjalan di suatu negara, baik penguasaan, pemilikan, dan penggunaan akan lebih ditentukan oleh pasar dengan ideologinya sendiri misalnya dengan penerapan prinsip-prinsip efisiensi dan keuntungan (Syahyuti, 2004).
Secara umum ada empat faktor penting sebagai prasyarat pelaksanaan land reform, yaitu: (1) elit politik yang sadar dan mendukung, (2) organisasi petani dan masyarakat yang kuat, (3) ketersediaan data yang lengkap dan akurat, (4) ketersediaan anggaran yang memadai. Untuk Indonesia, dapat dikatakan keempat faktor tersebut saat ini sedang dalam kondisi lemah.
1.      Lemahnya keinginan elit politik dan kapasitas pemerintah lokal
Kesadaran dan kemauan pihak politisi dapat ditelusuri dari produk kebijakan yang mereka hasilkan. Dengan didasari Keppres No.131 tahun 1961 yang kemudian disempurnakan dengan Keppres No.263 tahun 1964, dibentuk panitia Land reform Indonesia mulai dari tingkat provinsi, kabupaten, sampai dengan kecamatan dan desa. Hal ini menandakan bahwa pemerintah menaruh perhatian yang tinggi, meskipun masih terkesan sentralistik.
Namun kemudian keluar Keppres No.55 tahun 1989 tentang Organisasi dan Tata Kerja Penyelenggaraan Land reform, dimana panitia Lannd reform tersebut dibubarkan dan dialihkan wewenangnya kepada jajaran birokrasi Departemen Dalam Negeri, mulai dari menteri sampai dengan camat dan kepala desa. Semakin jelas dari kebijakan ini, bahwa land reform dianggap sebagai bagian pekerjaan rutin belaka oleh pemerintah, namun akses masyarakat dan swasta untuk terlibat kurang jelas posisi dan perannya. Dapat dikatakan, kebijakan land reform di masa Orde Baru mengambang dan kabur. Sikap ini dapat dimaknai sebagai sebuah sikap untuk mengambil keuntungan secara politis dalam perebutan penguasaan lahan ketika berhadapan dengan petani dan masyarakat.
Dalam konteks otonomi daerah, dimana pemerintahan daerah semakin diperkuat, namun aspek land reform secara umum masih menjadi kewenangan dari pusat. Lebih ironisnya pemerintah lokal yang lebih berpihak kepada investor swasta, cenderung menjadi makelar untuk penyediaan tanah bagi mereka. Kebijakan land reform jelas bukan merupakan ide yang menguntungkan untuk meraih investor dan pendapatan daerah.
Sesuai dengan UU Nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, telah diberikan kewenangan yang luas, nyata dan bertangggung jawab kepada daerah secera proporsional. Dalam PP No.25 tahun 200, disebutkan bahwa kewenangan penetapan persyaratan land reform berada pada pemerintah pusat. Namun dalam Keppres Nomor 34 tahun 2003, pemerintah daerah  Kabupaten/Kota berwenang dalam menetapkan subjek dan objek redistribusi tanah, serta ganti kerugian tanah kelebihan maksimum dan tanah absentee. Menurut penilaian Hutagalung (2004), kewenangan pemerintah daerah relatif kecil dalam pelaksanaan land reform.
2.      Ketiadaan organisasi masyarakat tani yang kuat dan terintegrasi
Perkembangan keberadaan lembaga (atau adakalanya disebut organisasi) dalam masyarakat pertanian dan pedesaan, terlihat bahwa kelembagaan umumnya dibentuk dari atas, dan lebih sebagai wadah distribusi bantuan dari pemerintah sekaligus untuk memudahkan pengontrolannya (Syahyuti, 2003). Ribuan kelompok tani yang dibuat serta ditambah ribuan lagi koperasi, umumnya bukan berasal dari ide dan kebutuhan masyarakat setempat. Jenis kelembagaan seperti ini tentu bukan merupakan wadah perjuangan yang representatif untuk mengimplementasikan land reform, karena selain kondisi individualnya yang lemah, juga tidak terstruktur dan terintegrasi satu sama lain.
Kelompok tani dibangun lebih sebagai sebuah organisasi ekonomi dan sosial, bukan organisasi untuk aktifitas politik praktis. Selain itu beberapa organisasi yang sudah terbentuk semenjak era Orde Baru, misalnya Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) selain masih terjebak kepada kalangan elit (petani), juga pada awalnya kurang diberi keleluasan dalam perjuangan politik. Namun semenjak era Reformasi, organisasi-organisasi masyarakat yang tumbuh dari bawah banyak bermunculan, dan sebagian mengklaim sebagai organisasi yang berskala nasional. Salah satu lembaga yang banyak memperjuangkan ide-ide tersebut adalah Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) yang juga terlibat langsung dalam aksi-aksi di lapangan.
Meskipun semenjak bergulirnya era Reformasi beberapa organisasi masyarakat petani telah mulai menampakkan diri, beberapa di antaranya cukup radikal, namun secara keseluruhan belum terbentuk satu organisasi yang mampu berperan sebagai basis untuk mengimplementasikan gerakan land reform ataupun reforma agrarian secara lebih luas.
Secara umum, mengintroduksikan wacana land reform kepada masyarakat petani yang berada pada level sedikit di atas garis batas subsistensi merupakan ide yang mahal dan mewah. Inilah salah satu tantangan dalam implementasi reforma agraria, yaitu untuk mendapatkan dukungan yang luas dan kokoh dari masyarakat. Kendala lain adalah karena adanya pemahaman pada masyarakat, bahwa segala bentuk ketimpangan dan ketidakadilan dalam struktur penguasaan agrarian saat ini dianggap merupakan sesuatu yang natural, semata-mata karena mekanisme pasar, bukan merupakan kesalahan skenario politik kalangan elit negara. Segala permasalahan yang dialami dalam berusahatani tidak pernah dirasakan karena buruknya struktur dan sistem penguasaan tanah, namun menimpakannya kepada masalah harga pupuk yang tinggi, rendahnya harga jual produk, ketiadaan air irigasi, dan lain-lain.
3.      Miskinnya ketersediaan data pertanahan dan keagrariaan
Data yang komprehensif merupakan kebutuhan yang pokok untuk merumuskan program land reform (dan bahkan reforma agraria) secara nasional. Selain data kuantitatif juga diperlukan berbagai data kualitatif dalam konteks sosioagraria. Untuk mengimplementasikan land reform, maka beberapa pertanyaan pokok yang sesungguhnya merupakan data-data utama perlu dijawab terlebih dahulu, Posterman (2002), yaitu siapa yang harus menerima lahan hasil land reform, dimana harus diselenggarkan, berapa tanah yang harus diberikan kepada penerima, apa jenis tanah yang menjadi objeknya, berapa biaya yang harus dikeluarkan, apakah penerima harus membayar, siapa saja yang berperan serta, dan pada level pemerintah yang mana yang bertanggung jawab dan memonitor. Seluruh pertanyaan ini baru bisa dijawab jika tersedia data yang lengkap.
4.      Ketersediaan dan alokasi anggaran yang kecil
Pelaksanaan land reform secara serentak dan menyeluruh akan menuntut biaya yang sangat besar, mulai dari persiapannya, pembentukan organisasi pelaksana, implementasi, sampai dengan pengawasan pasca redistribusi. Land reform diberbagai Negara dunia ketiga yang dilaksanakan pada era tahun 1960-an dimungkinkan karena sesuai dengan konstelasi politik dunia saat itu, dimana setelah Perang Dunia II land reform dianggap sebagai salah satu kebijakan yang sangat penting untuk pembangunan, mengatasi kemiskinan dan ketimpangan sosial. Saat itu, negara-negara besar dan lembaga donor mendukungnya (Bahari, 2004).
Namun setelah era tersebut, land reform tampaknya tidak lagi menjadi prioritas. Lembaga donor lebih tertarik untuk mengimplementasikan program industrialisasi di negara-negara berkembang dibandingkan land reform. Kebijakan ini dipilih karena resikonya lebih kecil, dan tidak menimbulkan gejolak politik yang mahal. Sebagai negara berkembang, sebagian modal pembangunan Indonesia berasal dari pinjaman dari lembaga asing. Lembaga donor tersebut berkuasa untuk mengontrol penggunaan pinjaman tersebut. Keterbatasan anggaran merupakan satu alasan pokok mengapa pemerintahan Orde Baru tidak memilih program land reform yang biayanya besar dan hasilnya belum tampak dalam jangka pendek. Sebaliknya, karena tekanan ekonomi kapitalis, maka tanah dijadikan komoditas untuk menarik investor asing menanamkan modalnya, misalnya dengan regulasi dalam pengembangan perkebunan besar swasta.
Dalam beberapa kasus dijumpai bantuan langsung pemerintah dalam pembiayaan pensertifikatan tanah, misalnya melalui program nasional (PRONA). Namun yang dibutuhkan sesungguhnya adalah tersedianya kredit lunak bagi petani untuk mendapatkan lahan (Syahyuti, 2004).
Berdasarkan uraian di atas, maka menurut saya apabila pemerintah ingin melaksanakan land reform maka pelaksanaannya harus dilakukan secara penuh, terorganisir dengan baik, pengawasan yang baik juga, dan evaluasinya harus tepat serta komitmen pemerintah dan pihak lain yang terlibat harus dipertahankan. Jika memang berpihak kepada petani maka semuanya harus bersih dari unsur kepentingan politik dan pribadi. Selain itu, saya kurang setuju dengan kendala nomor 3 dan 4 yaitu tentang masalah data pertanahan dan alokasi anggaran yang kecil. Karena menurut saya, hal-hal tersebut bukanlah suatu kendala. Alokasi anggaran yang kecil untuk land reform menunjukkan bahwa pertanian kurang diperhatikan padahal pertanian merupakan sektor penting di Negara kita. Satu hal lagi yang diperlukan yaitu organisasi petani yang kuat  yang bukan hanya berisi petani-petani yang sudah sejahtera saja namun juga harus melibatkan petani-petani kecil sehingga benar-benar organisasi petani merupakan gambaran nyata dari potret petani kita secara keseluruhan dan diharapkan dapat berintegrasi secara kuat sehingga kepentingan-kepentingan demi kesejahteraan petani dapat terpenuhi.

KESIMPULAN
Beberapa hal yang bisa disimpulkan dari pembahasan di atas yaitu:
1.      Walaupun traditional land reform hampir tidak optimal dalam hal efisiensi produktivitas, collectives and co-operative farms, namun masih bisa bertahan untuk waktu yang lama dalam suatu karakteristik lingkungan yang secara signifikan menunjukkan pasar tidak sempurna.
2.      Alih fungsi pasar lahan dalam wilayah pedesaan yang merupakan salah satu tantangan pokok dari sekian banyak tantangan yang harus diusahakan pada land reform, memerlukan suatu kerangka tertentu mengenai wilayah tersebut dan dapat diakses dengan mudah serta transparansi dari lembaga terkait yang seringkali hal-hal tersebut tidak dapat dipenuhi.
3.      Pendirian lingkungan institusional hanya akan menambah kepuasan material saja dari cadastres.
4.      Pelaksanaan land reform harus didukung oleh akses kredit dan akses pasar. Kedua hal ini menjadi tantangan bagi family farms sehingga memang diperlukan perbaikan. Namun selain hal-hal tersebut, juga perlu dukungan dari semua pihak yang terlibat dalam pelaksanaan land reform itu sendiri.
5.      Komitmen yang kuat dari pemerintah juga sangat diharapkan bagi keberhasilan pelaksanaan land reform.
6.      Pelaksanaan land reform di Indonesia juga menghadapi kendala yang sama dengan Negara CEE dan CIS, namun di Indonesia juga mengalami kendala ketersediaan data yang kurang tentang pertanahan serta alokasi anggaran yang kecil untuk pelaksanaan land reform.
7.      Organisasi petani yang kuat memang sangat diperlukan guna untuk mengakses kebutuhan-kebutuhan bagi pertanian seperti akses kredit dan pasar sehingga diharapkan dapat tercapai suatu kesejahteraan. Namun organisasi petani yang dimaksud yaitu berisi seluruh petani baik petani kecil maupun besar dan semuanya memiliki hak yang sama dalam hal penyaluran aspirasinya demi kesejahteraan.














DAFTAR PUSTAKA
Deininger, Klaus. 2002. Agrarian Reforms In Eastern European Countries: Lessons From International Experience. J.Int.Dev 14, 1987-1003.
Syahyuti. 2004. Kendala Pelaksanaan Land reform Di Indonesia: Analisa terhadap Kondisi dan Perkembangan Berbagai Faktor Prasyarat Pelaksanaan Reforma Agraria. Forum Penelitian Agro Ekonomi volume 22 No.2: 89-101.
Wiradi, Gunawan. 2012. Masalah Pembaruan Agraria: Dampak Land reform terhadap Perekonomian Negara. Yayasan Kekal Indonesia.