TUGAS
PEMBANGUNAN PERTANIAN
CRITICAL REVIEW
Tinjauan
Kritis “Agrarian Reforms In Eastern European Countries: Lessons From
International Experience” Dan Relevansi Dengan Kasus di Indonesia
(Klaus
Deininger, Journal of International Development 14, 987-1003 (2002))
SRIYANI
WAHYUNI TANGAHU
H353110021
MAYOR
ILMU EKONOMI PERTANIAN
SEKOLAH
PASCASARJANA
INSTITUT
PERTANIAN BOGOR
2012
PENDAHULUAN
Perubahan dalam
struktur ekonomi dan struktur sosial dibanyak negara Eropa Tengah dan Timur
(CEE) dan CIS berdampak besar pada kondisi alami sektor pedesaan dan terbukanya
kesempatan kerja bagi penduduk pedesaan. Perubahan tersebut dipicu oleh
kejadian runtuhnya tembok Berlin. Sebelum tahun 1990, banyak dari negara-negara
tersebut memiliki kekuasaan ”de facto” untuk menghapuskan hak
properti pribadi baik kepemilikan Negara maupun individu. Produksi pertanian
sebagian besar berupa kasus kolektif yang menyebabkan inefisiensi dikarenakan
terdapatnya free riding, moral hazard, dan kurangnya insentif
individu untuk berproduksi. Dalam usahatani kolektif (sekitar 2000 ha, 500
pekerja), bersifat kurang transparan sehingga menambah kesulitan untuk
melaksanakan pengawasan. Tujuannya adalah untuk menemukan target yang sudah
ditentukan dengan sedikit pertimbangan untuk memperoleh keuntungan (profit) atau batasan anggaran, dan
pertahanan mereka mengandalkan pada subsidi dan koneksi politik.
Pengurangan
subsidi bagi produsen dan konsumen, liberalisasi harga, pengurangan permintaan
akibat penurunan pendapatan, rendahnya permintaan ekspor karena kondisi Uni
Soviet yang signifikan mengalami penurunan dalam perdagangan untuk sektor
pertanian di seluruh wilayahnya. Akibatnya penggunaan input dan output dari
sektor pertanian mengalami penurunan yang serius dibandingkan dengan sektor
nonpertanian (Csaki, 2000). Perluasan produksi pertanian dapat pulih kembali
sejak 1990 yang mempengaruhi tingkat ekonomi, pembangunan, masalah makro, dan
mengejar kepentingan politik pribadi sehingga dapat dikatakan perluasan politik
seperti ini benar-benar dapat terjadi di wilayah itu. Land reform dan perubahan struktur pertanian memainkan peran yang
penting dalam proses tersebut. Hal ini disebabkan karena pentingnya lahan
sebagai aset bagi masyarakat desa dan hubungannnya dengan land markets sebagai dasar dalam perkembangan pasar keuangan.
Berkaitan dengan
land reform, Tabel 2 pada artikel
menunjukkan share lahan yang
dioperasikan oleh petani individu (atau bisa dikatakan bagian lahan yang
dikuasai secara pribadi) dan berbeda di antara Negara CEE dan CIS. Dari Tabel 2
tersebut, bisa dilihat bahwa share lahan
yang dikuasai secara pribadi oleh petani individu di Negara-negara CEE meningkat
dari 21% (1990) ke 78% (2000). Hal ini disebabkan karena adanya transfer lahan
dari large farms ke petani individu
(pelaksanaan program land reform) dan
total transfer lahan tersebut sekitar 33 mn ha. Sedangkan di Negara-negara CIS
meningkat dari 4% (1990) ke 22.4% (2000). Hal ini juga disebabkan karena adanya
program land reform dan total lahan
yang ditransfer yaitu sekitar 442 mn ha. Tujuan dari artikel ini yaitu untuk
membandingkan pengalaman land reform di
Negara-negara CEE dan CIS dan bagaimana tantangan di masing-masing Negara serta
strategi ke depannya seperti apa.
RINGKASAN
Sejarah land reform mengilustrasikan mengapa transformasi hacienda system lebih sulit dibandingkan
daripada sistem tenant estates. Variasi
perkembangan di CEE dan CIS mengilustrasikan bahwa masalah dalam hacienda system yaitu akses pasar,
investasi, dan ketahanan politik merupakan hal-hal pokok yang menjadi
penghalang dalam penataan kembali pedesaan. Masalah-masalah tesebut dapat
dijelaskan sebagai berikut:
1. Distorsi
kebijakan dan ketidaksempurnaan pasar
Adanya distorsi
yang berkelanjutan baik secara implisit maupun eksplisit seperti proteksi
pertanian, subsidi kredit, dan/atau ketidaksempurnaan pasar memberikan hasil
yang berbeda untuk masalah akses pasar bagi usahatani luas yaitu menyebabkan
harga tanah di atas nilai kapital dari keuntungan pertanian, mengurangi
keberlanjutan dari perbaikan manfaat, membuat hal itu menguntungkan untuk
menjual lahan yang baru diperoleh. Akses kredit yang terbatas dan akses untuk pasar
yang lainnya, serta lemahnya hak properti menyebabkan semakin maraknya
penjualan lahan oleh petani penerima lahan program reformasi lahan.
2. Kurangnya
investasi
Transformasi
dari usahatani lahan luas ke bisnis pertanian memerlukan perubahan dalam pola
produksi, cabang usahatani, dan ketersediaan infrastruktur. Selain itu untuk
memperoleh akses lahan dan aset yang produktif, petani penerima lahan tersebut membutuhkan
akses modal, bantuan teknis, akses pasar output, dan asuransi. Tanpa adanya
dukungan infrastruktur dan mekanisme dari paket investasi tersebut maka sulit
untuk memperoleh keuntungan.
3. Reformasi
politik
Masalah land reform tidak jarang dikaitkan dengan
reformasi politik, dimana reformasi seperti itu menyebabkan pertentangan dengan
kekuasaan politik sehingga tidak jarang ditemui praktik perlawanan dengan lawan
politik ataupun dalam konteks perubahan revolusi.
A.
Mekanisasi
Land Reform di negara CEE dan CIS
Proses
transformasi tanah pertanian dapat dirinci dalam tiga dimensi yaitu: (1) Pengakuan atas hak properti pribadi, (2)
Mekanisme kepemilikan lahan dan alokasi lahan tersebut untuk kegiatan produksi,
(3) Transfer kepemilikan lahan. Kriteria di atas digunakan untuk
mengidentifikasikan perbedaan pelaksanaan land
reform antara CEE dan CIS. Negara CEE membolehkan kepemilikan lahan secara
penuh untuk semua tipe lahan dan secara umum memilih untuk privasi lahan dengan
cara restitusi lahan tersebut dalam bentuk bidang lahan. Ada beberapa
pengecualian di Hungaria dan Romania dimana digunakan strategi gabungan dengan
cara lahan direstitusi tetapi bagiannya didistribusikan secara bebas kepada
para pekerja pertanian demi kepentingan keadilan sosial. Di Polandia, kepemilikan
tanah negara sudah tidak ada lagi ketika Albania menerapkan strategi radikal
yang didasarkan pada redistribusi penuh lahan ke pengolah lahan. Adanya dasar
yang jelas dan sah serta dokumen resmi kepemilikan tanah secara relatif
menjadikan implementasi restitusi menjadi tertib, lain halnya dengan kasus di
Nicaragua dimana cakupan tuntutan restitusi tidak terbatas dapat menimbulkan masalah konflik lahan dan
kurangnya kepercayaan terhadap sistem land
tenure.
Dengan adanya
struktur fragmentasi lahan yang masih tinggi pada periode sebelum Perang Dunia
II bersama dengan aturan pembagian warisan yang rumit, menyebabkan proses
restitusi mengarah ke struktur fragmentasi lahan. Di negara-negara dengan
tingkat ekonomi pembangunan yang lebih tinggi, banyak pemilik tanah yang baru
tidak bermaksud untuk mengolah lahan mereka dan tingkat pemilik tanah yang absentee semakin meningkat.
Karakterisistik
Negara-negara CIS tampak bervariasi berkenaan dengan pengakuan hak kepemilikan pribadi, proses
kepemilikan pribadi lahan pertanian, dan transfer lahan. Hanya beberapa dari
Negara CIS yang mengakui hak kepemilikan pribadi atas lahan yaitu Armania,
Georgia, Moldova, Azerbaijan, Russia, Ukraine, Kyrgyzstan, dan Turkmenistan.
Tajikistan dan Uzbekistan mengakui tidak adanya hak kepemilikan pribadi apapun,
sementara Kazakhstan dan Belarus mengakui hak-hak untuk lahan milik rumahtangga
saja yang luasannya kurang dari 1 ha dan digunakan untuk mencukupi kebutuhan
konsumsi rumahtangga.
Sebagian besar
negara CIS melaksanakan strategi privatisasi lahan dengan cara distribusi
lahan. Dengan pengecualian untuk Armenia dan Georgia mendistribusikan lahan
secara langsung dalam bentuk bidang lahan, mantan pekerja dalam usahatani
kolektif menerima bagian yang pasti dari lahan yang mereka usahakan (aset)
tanpa menspesifikasikan bidang lahan secara konkrit. Masing-masing Negara CIS
memiliki cara yang berbeda dalam hal pendistribusian lahan dan hal ini
merupakan hal yang kritis karena menyangkut juga dengan privatisasi lahan yang
kemudian akan berkaitan dengan perubahan proses produksi dan struktur
operasional.
Negara CIS
dibagi dalam dua bagian yaitu: (1) Negara-negara reformasi radikal, seperti
Armenia, Georgia, Moldova, Kyrgyzstan, dan Azerbaijan, dimana Negara-negara
tersebut mendistribusikan lahan dengan seluas-luasnya. Hal ini sangat penting
dan memberikan kontribusi bagi petani subsisten dan kepercayaan yang tinggi
membantu mengurangi kemiskinan selama masa transisi (World Bank, 2002), (2)
Negara Rusia, Ukraine, Kazakhstan, Tajikistan, Turkmenistan, Uzbekistan, dan
Belarus, disamping privatisasi lahan, sedikit banyak penggantian nama dari
suatu usaha disebabkan cakupan yang terbatas dalam mentransformasi bagian lahan
secara aktual.
B.
Implikasi
Satu implikasi
penting dari permasalahan-permasalahan yang telah diuraikan sebelumnya yaitu
bahwa untuk meningkatkan produktivitas pertanian dan kesejahteraan pedesaan akan
bergantung pada cakupan perbaikan fungsi lahan dan faktor pasar dalam pedesaan
itu sendiri. Di Negara CEE dan CIS, petani-petani yang tergabung dalam suatu
asosiasi (collective) mempunyai akses
kekuatan politik dan penguasaan input produksi yang besar dibandingkan
petani-petani individu. Hal ini menyebabkan kurangnya motivasi bagi
petani-petani untuk keluar dari kelompoknya dan berusaha sendiri (individu).
Pengalaman yang
dialami oleh Negara-negara CEE dan CIS mengilustrasikan suatu asumsi awal
dimana privatisasi lahan akan menyebabkan pembentukan struktur pertanian
individu/keluarga (family farming) yang
cepat, dimana dapat dijelaskan sebagai berikut: (1) Studi-studi terdahulu
mengarah kepada family farming yang
lebih efisien yang terlaksana pada kondisi pasar yang baik dan kesulitan dalam
pembentukan pasar yang baik mirip dengan kesulitan dalam land reform dalam konteks hacienda
system, (2) Jika house plots memberikan
jaminan dasar, ekuitas benefit dari
pembagian lahan oleh pertanian besar lebih terbatas dibandingkan dengan negara-negara yang land reformnya dilaksanakan untuk membantu penyediaan lahan bagi
petani yang kurang bahkan tidak memiliki lahan, dan (3) Sekalipun family farms lebih efisien daripada large farms, pembagian lahan oleh large farms, kecuali di Negara miskin,
tidak cukup untuk menjadikan pendapatan family
farms komparabel pada tingkat nasional atau di atas garis kemiskinan. Sehingga,
bisa dikatakan untuk kasus di Negara CEE dan CIS, pelaksanaan land reform bukan merupakan hal utama
dalam perubahan struktur pedesaan.
C.
Hak
Kepemilikan Lahan dan Pembangunan Pasar Lahan
Dalam program land reform yang tradisional, pembuatan
keputusan dalam alokasi faktor produksi diselesaikan dengan cara cost-effective yang merupakan penentu
utama dalam kesuksesan jangka panjang dan berkelanjutan. Di Negara CEE dan CIS,
tantangan yang berat sebagai akibat perubahan yang cepat bagi struktur
pertanian yaitu ancaman terjadinya depopulate
wilayah pedesaan. Banyak Negara CEE dan CIS membolehkan transfer kepemilikan
atau hak guna walaupun dalam praktiknya masih terbatas. Pengalaman Negara CEE
dan CIS tersebut mengilustrasikan bahwa hal ini kritis untuk menjamin
sedikitnya keamanan dan transfer dari hak guna, untuk mengurangi transaction cost untuk memfasilitasi
terbentuknya pasar.
CRITICAL
REVIEW
Artikel ini membahas tentang Reforma Agraria (Agrarian Reforms) di Negara CEE (Central and Eastern Europe) dan CIS (Commonwealth of Independent States). Hal-hal
yang dijelaskan dalam artikel ini yaitu mengenai masalah atau tantangan yang dihadapi
oleh Negara CEE dan CIS dalam rangka pembangunan pedesaaan, perbedaan
mekanisasi land reform di antara
Negara-negara tersebut, implikasinya, dan hak kepemilikan lahan serta
pembangunan pasar lahan. Dalam artikel ini dijelaskan bahwa terdapat tiga hal
pokok yang menjadi tantangan dalam rangka perubahan struktur pedesaan yaitu
distorsi kebijakan dan kesempurnaan pasar, kurangnya investasi, dan reformasi
politik. Ketiga hal tersebut berkaitan dengan akses kredit, akses informasi
pasar, akses input produksi, investasi pertanian, dan land reform. Namun di antara hal-hal tersebut, yang menjadi pokok
permasalahannya yaitu pelaksanaan land
reform.
Mekanisasi pelaksanaan land reform di Negara CEE dan CIS dibedakan berdasarkan (1) pengakuan atas hak properti pribadi, (2)
mekanisme kepemilikan lahan dan alokasi lahan tersebut untuk kegiatan produksi,
dan (3) transfer kepemilikan lahan, seperti yang telah diuraikan di atas. Inti
dari pelaksanaan land reform ini
yaitu untuk membantu petani-petani yang kekurangan bahkan tidak memiliki lahan
sehingga nantinya juga bisa memiliki akses terhadap pasar dan sangat diharapkan
dapat berusaha secara efisien yang pada akhirnya dapat meningkatkan
pendapatannya dan berada di atas garis kemiskinan. Menurut artikel ini, family farms memang lebih efisien
daripada large farms sehingga
dilaksanakan land reform namun
ternyata land reform bukan merupakan
faktor utama yang mempengaruhi kesejahteraan family farms sehingga walaupun sudah dilaksanakan land reform, pendapatan family farms belum komparabel pada
tingkat nasional ataupun berada di atas garis kemiskinan.
Pelaksanaan land
reform di Negara CEE dan CIS, masing-masing dihadapkan pada tantangan dan
bagaimana caranya untuk menghadapi tantangan tersebut. Bagi Negara CEE,
tantangan kritis yang dihadapi yaitu membuat perkembangan yang berkaitan dengan
pendirian struktur kepemilikan pribadi untuk menggabungkan prestasi dalam
konteks strategi yang besar bagi pembangunan pedesaan dan hal ini akan membantu
mengatasi terjadi depopulate wilayah
pedesaan secara cepat, dan proses ini mencegah kebijakan intervensi yang bisa
saja menyebabkan distorsi.
Di Negara CIS, isu-isu yang sedikit straightforward dan solusi terbaik
pertama memungkinkan untuk jarang terjadi. Sekalipun perkembangannya tidak tetap,
definisi dari transfer hak properti berguna bagi banyak Negara dan signifikansi
porsi (bagian) lahan (residen, komersial, industri, dan pertanian) dalam
kekuasaan pribadi, menyebabkan kemunculan berangsur-angsur secondary market. Perkembangan yang pesat dapat dicapai dengan cara
memanfaatkan peluang dan menekan kompetisi lokal. Kecenderungan terbaru
terhadap desentralisasi yang lebih besar adalah mungkin untuk mendukung proses
tersebut dalam beberapa respek. Pemerintah daerah dapat lebih mungkin untuk menyusun
program demonstrasi, sebagaimana mereka akan mendapatkan manfaat lebih secara
langsung dari kesuksesan yang mereka peroleh sehingga menjadi dorongan (contoh) bagi unit pemerintah yang
lain. Namun hal ini bukan merupakan solusi yang jelas.
Pengalaman sejarah memberi pelajaran bahwa suatu
pembaruan agrarian yang hanya berhenti pada masalah redistribusi tanah ternyata
justru menyebabkan produksi menurun untuk beberapa tahun. Hal ini disebabkan
karena infrastruktur yang menunjang pembaruan itu semula belum dipikirkan sejak
awal. Karena itu kemudian disadari bahwa program-program penunjang itu harus
menjadi satu paket dengan program pembaruan secara keseluruhan, termasuk ke
dalamnya program-program pasca redistribusi, antara lain perkreditan, penyuluhan,
pendidikan, dan latihan, teknologi, pemasaran, dan lain-lain (Wiradi, 2012).
Dalam beberapa kasus, memang untuk beberapa tahun
produksi pertanian menurun (misalnya, di Taiwan), namun sesudah itu meningkat
pesat. Sejumlah besar rakyat desa yang semula buruh tani menjadi petani pemilik
penggarap, mula-mula masih terasa canggung. Namun dalam jangka panjang mereka
malahan berkembang menjadi pengelola usahatani yang rasional dan bertanggung
jawab (A.T. Mosher, 1976).
Berdasarkan pendapat dari Wiradi dan A.T. Mosher,
maka dapat dikatakan bahwa keduanya sejalan dengan pendapat pada artikel ini
dimana redistribusi tanah tidak cukup untuk mendukung peningkatan produksi
petani yang pada akhirnya berdampak pada pendapatan, sehingga yang terjadi
adalah sebaliknya. Wiradi menambahkan bahwa selain redistribusi lahan, hal-hal
yang perlu diperhatikan yaitu akses kredit, penyuluhan, pendidikan dan latihan,
teknologi, pemasaran, dan lain-lain. Saya juga setuju dengan pendapat pada
artikel ini yaitu redistribusi lahan harus didukung oleh hal-hal yang telah
disebutkan sebelumnya namun perlu saya tambahkan bahwa peran pemerintah dan
semangat serta kerja sama dari petani itu sendiri juga harus ada. Peran
pemerintah yang dimaksud yaitu peran yang benar-benar mementingkan kepentingan
petani dan tidak berlandaskan pada kepentingan politik yang terselubung, karena
memang masalah land reform ini sering
dikaitkan dengan kekuasaan politik. Pada intinya semua pihak harus bekerja sama
dengan baik agar tujuan sebenarnya dari land
reform dapat tercapai sehingga diharapkan pendapatan dan kesejahteraan
petani dapat meningkat secara signifikan, tidak seperti yang dijelaskan dalam
artikel ini yang ternyata pendapatan meningkat tidak signifikan dan masih belum
sejahtera.
Jadi, menurut saya pelaksanaan land reform baik di Negara CEE, CIS, Indonesia, dan juga di
Negara-negara lainnya harus direncanakan secara serius terlebih dahulu sebelum
dilaksanakan. Perencanaan serius yang dimaksudkan yaitu mulai dari tujuan land reform, hal-hal yang mendukung land reform, subjek dan objek land reform harus jelas, kendala-kendala
yang mungkin dihadapi serta dipersiapkan alternatif solusi yang benar-benar
dapat mengurangi bahkan menghilangkan kendala, serta dampak dari land reform. Perlu ditambahkan juga komitmen
dalam pelaksanaan land reform sangat
diperlukan bagi semua pihak yang terlibat. Tantangan seperti distorsi kebijakan
dan ketidaksempurnaan pasar menurut saya bukan karena adanya intervensi
pemerintah namun karena komitmen pemerintah itu sendiri yang belum kuat dalam
pelaksanaan land reform sehingga
kekuasaannya melebihi batas dan tidak sesuai sehingga menyebabkan distorsi maka
menurut saya intervensi pemerintah perlu namun hanya dalam hal penetapan
kebijakan serta melakukan pengawasan.
PELAKSANAAN LAND REFORM DI INDONESIA
Land
reform di Indonesia pernah diimplementasikan dalam kurun
waktu 1961 sampai 1965, namun kurang berhasil (Rajagukguk, 1995). Landasan
hukum pelaksanaan land reform di
Indonesia adalah UUPA No.5 tahun 1960, yaitu pasal 7 dan 17 untuk sumber
pengaturan pembatasan luas tanah maksimum, pasal tentang larangan absentee, dan pasal 53 yang mengatur
hak-hak sementara atas tanah pertanian. Saat program land reform tersebut diluncurkan, kondisi politik di Indonesia
sedang labil. Pada saat itu dikenal pendekatan ”politik sebagai panglima”,
dimana tiap kebijakan pemerintah dimaknai dalam konteks politik. Partai komunis
Indonesia (PKI) kemudian menjadikan land
reform sebagai alat ampuh untuk memikat simpatisan, dimana PKI menjanjikan
tanah sebagai faktor penarik untuk perekrtutan anggota. Pola seperti ini
menimbulkan dua anggapan yang berbeda antara petani dengan luas lahan garapan
yang sempit dan petani dengan lahan garapan yang luas. Bagi petani yang
memiliki lahan garapan yang luas, land
reform merupakan ancaman bagi mereka baik secara politik maupun ekonomi
yaitu kekhawatiran terhadap akan menurunnya luas penguasaan tanah mereka yang
berimplikasi kepada penurunan pendapatan keluarga dan kesejahteraan (Syahyuti,
2004).
Program land reform hanya berjalan intensif dari
tahun 1961 sampai 1965. Namun demikian, pemerintahan Orde Baru yang berkuasa
pada masa berikutnya mengklaim bahwa land
reform tetap dilaksanakan meskipun secara terbatas. Dalam makalah Posterman
(2002) diuarikan, bahwa dari tahun 1960 sampai 2000 secara akumulatif tercatat
telah berhasil dilakukan distribusi lahan dalam konteks land reform seluas 850.128 ha. Jumlah rumahtangga tani yang
menerima adalah 1.292.851 keluarga, dengan rata-rata keluarga menerima 0,66 ha
(Syahyuti, 2004).
Khusus selama
era pemerintahan Orde Baru, untuk menghindari kerawanan social politik yang
besar, maka land reform diimplementasikan
dengan bentuk yang sangat berbeda. Peningkatan akses petani kepada tanah
dilakukan melalui kebijakan berupa penyeimbangan sebaran penduduk dengan luas
tanah, dengan cara memindahkan penduduk ke daerah-daerah yang tanahnya luas
melalui transmigrasi. Program ini kemudian dibarengi dengan program
pengembangan PIR (Perkebunan Inti Rakyat). Luas daerah yang diberikan kepada
transmigran dan petani plasma mengikuti ketentuan batas minimum penguasaan
yaitu 2 ha lahan garapan per keluarga (Syahyuti, 2004).
Pembangunan
agraria secara umum mensyaratkan dua hal pokok yaitu komitmen pemerintah yang
kuat dan tersedianya modal sosial (social
capital) misalnya berkembangnya civil
society yang memadai. Dapat dikatakan, keduanya ini saat ini masih dalam
kondisi tidak siap. Hambatan lain datang dari intervensi yang tak terbantahkan
dari ideologi kapitalisme, khususnya melalui instrumen pasar global, yang telah
menembus seluruh aspek kehidupan, termasuk dalam hal sistem agraria suatu negara.
Jika selama ini pemerintah yang menjadi penguasa terhadap petani dengan
menggunakan tanah sebagai alat politiknya, terutama dalam era “Tanam Paksa”,
maka di era pasar bebas ketika komoditas ditentukan oleh kehendak pasar, maka
pasarlah yang menjadi penguasa. Dengan kata lain, sistem agraria yang akan
berjalan di suatu negara, baik penguasaan, pemilikan, dan penggunaan akan lebih
ditentukan oleh pasar dengan ideologinya sendiri misalnya dengan penerapan
prinsip-prinsip efisiensi dan keuntungan (Syahyuti, 2004).
Secara umum ada
empat faktor penting sebagai prasyarat pelaksanaan land reform, yaitu: (1) elit politik yang sadar dan mendukung, (2)
organisasi petani dan masyarakat yang kuat, (3) ketersediaan data yang lengkap
dan akurat, (4) ketersediaan anggaran yang memadai. Untuk Indonesia, dapat
dikatakan keempat faktor tersebut saat ini sedang dalam kondisi lemah.
1. Lemahnya
keinginan elit politik dan kapasitas pemerintah lokal
Kesadaran dan
kemauan pihak politisi dapat ditelusuri dari produk kebijakan yang mereka
hasilkan. Dengan didasari Keppres No.131 tahun 1961 yang kemudian disempurnakan
dengan Keppres No.263 tahun 1964, dibentuk panitia Land reform Indonesia mulai dari tingkat provinsi, kabupaten,
sampai dengan kecamatan dan desa. Hal ini menandakan bahwa pemerintah menaruh
perhatian yang tinggi, meskipun masih terkesan sentralistik.
Namun kemudian
keluar Keppres No.55 tahun 1989 tentang Organisasi dan Tata Kerja
Penyelenggaraan Land reform, dimana
panitia Lannd reform tersebut
dibubarkan dan dialihkan wewenangnya kepada jajaran birokrasi Departemen Dalam
Negeri, mulai dari menteri sampai dengan camat dan kepala desa. Semakin jelas
dari kebijakan ini, bahwa land reform dianggap
sebagai bagian pekerjaan rutin belaka oleh pemerintah, namun akses masyarakat
dan swasta untuk terlibat kurang jelas posisi dan perannya. Dapat dikatakan,
kebijakan land reform di masa Orde
Baru mengambang dan kabur. Sikap ini dapat dimaknai sebagai sebuah sikap untuk
mengambil keuntungan secara politis dalam perebutan penguasaan lahan ketika
berhadapan dengan petani dan masyarakat.
Dalam konteks otonomi
daerah, dimana pemerintahan daerah semakin diperkuat, namun aspek land reform secara umum masih menjadi
kewenangan dari pusat. Lebih ironisnya pemerintah lokal yang lebih berpihak
kepada investor swasta, cenderung menjadi makelar untuk penyediaan tanah bagi
mereka. Kebijakan land reform jelas
bukan merupakan ide yang menguntungkan untuk meraih investor dan pendapatan
daerah.
Sesuai dengan UU
Nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, telah diberikan kewenangan
yang luas, nyata dan bertangggung jawab kepada daerah secera proporsional. Dalam
PP No.25 tahun 200, disebutkan bahwa kewenangan penetapan persyaratan land reform berada pada pemerintah
pusat. Namun dalam Keppres Nomor 34 tahun 2003, pemerintah daerah Kabupaten/Kota berwenang dalam menetapkan
subjek dan objek redistribusi tanah, serta ganti kerugian tanah kelebihan
maksimum dan tanah absentee. Menurut
penilaian Hutagalung (2004), kewenangan pemerintah daerah relatif kecil dalam
pelaksanaan land reform.
2. Ketiadaan
organisasi masyarakat tani yang kuat dan terintegrasi
Perkembangan
keberadaan lembaga (atau adakalanya disebut organisasi) dalam masyarakat
pertanian dan pedesaan, terlihat bahwa kelembagaan umumnya dibentuk dari atas,
dan lebih sebagai wadah distribusi bantuan dari pemerintah sekaligus untuk memudahkan
pengontrolannya (Syahyuti, 2003). Ribuan kelompok tani yang dibuat serta
ditambah ribuan lagi koperasi, umumnya bukan berasal dari ide dan kebutuhan
masyarakat setempat. Jenis kelembagaan seperti ini tentu bukan merupakan wadah
perjuangan yang representatif untuk mengimplementasikan land reform, karena selain kondisi individualnya yang lemah, juga
tidak terstruktur dan terintegrasi satu sama lain.
Kelompok tani
dibangun lebih sebagai sebuah organisasi ekonomi dan sosial, bukan organisasi
untuk aktifitas politik praktis. Selain itu beberapa organisasi yang sudah
terbentuk semenjak era Orde Baru, misalnya Himpunan Kerukunan Tani Indonesia
(HKTI) selain masih terjebak kepada kalangan elit (petani), juga pada awalnya
kurang diberi keleluasan dalam perjuangan politik. Namun semenjak era
Reformasi, organisasi-organisasi masyarakat yang tumbuh dari bawah banyak
bermunculan, dan sebagian mengklaim sebagai organisasi yang berskala nasional. Salah
satu lembaga yang banyak memperjuangkan ide-ide tersebut adalah Konsorsium
Pembaruan Agraria (KPA) yang juga terlibat langsung dalam aksi-aksi di
lapangan.
Meskipun
semenjak bergulirnya era Reformasi beberapa organisasi masyarakat petani telah
mulai menampakkan diri, beberapa di antaranya cukup radikal, namun secara keseluruhan
belum terbentuk satu organisasi yang mampu berperan sebagai basis untuk
mengimplementasikan gerakan land reform
ataupun reforma agrarian secara lebih luas.
Secara umum,
mengintroduksikan wacana land reform kepada
masyarakat petani yang berada pada level sedikit di atas garis batas
subsistensi merupakan ide yang mahal dan mewah. Inilah salah satu tantangan
dalam implementasi reforma agraria, yaitu untuk mendapatkan dukungan yang luas
dan kokoh dari masyarakat. Kendala lain adalah karena adanya pemahaman pada
masyarakat, bahwa segala bentuk ketimpangan dan ketidakadilan dalam struktur
penguasaan agrarian saat ini dianggap merupakan sesuatu yang natural,
semata-mata karena mekanisme pasar, bukan merupakan kesalahan skenario politik
kalangan elit negara. Segala permasalahan yang dialami dalam berusahatani tidak
pernah dirasakan karena buruknya struktur dan sistem penguasaan tanah, namun
menimpakannya kepada masalah harga pupuk yang tinggi, rendahnya harga jual produk,
ketiadaan air irigasi, dan lain-lain.
3. Miskinnya
ketersediaan data pertanahan dan keagrariaan
Data yang
komprehensif merupakan kebutuhan yang pokok untuk merumuskan program land reform (dan bahkan reforma agraria)
secara nasional. Selain data kuantitatif juga diperlukan berbagai data
kualitatif dalam konteks sosioagraria. Untuk mengimplementasikan land reform, maka beberapa pertanyaan
pokok yang sesungguhnya merupakan data-data utama perlu dijawab terlebih
dahulu, Posterman (2002), yaitu siapa yang harus menerima lahan hasil land reform, dimana harus
diselenggarkan, berapa tanah yang harus diberikan kepada penerima, apa jenis
tanah yang menjadi objeknya, berapa biaya yang harus dikeluarkan, apakah
penerima harus membayar, siapa saja yang berperan serta, dan pada level
pemerintah yang mana yang bertanggung jawab dan memonitor. Seluruh pertanyaan
ini baru bisa dijawab jika tersedia data yang lengkap.
4. Ketersediaan
dan alokasi anggaran yang kecil
Pelaksanaan land reform secara serentak dan
menyeluruh akan menuntut biaya yang sangat besar, mulai dari persiapannya,
pembentukan organisasi pelaksana, implementasi, sampai dengan pengawasan pasca
redistribusi. Land reform diberbagai
Negara dunia ketiga yang dilaksanakan pada era tahun 1960-an dimungkinkan
karena sesuai dengan konstelasi politik dunia saat itu, dimana setelah Perang
Dunia II land reform dianggap sebagai
salah satu kebijakan yang sangat penting untuk pembangunan, mengatasi
kemiskinan dan ketimpangan sosial. Saat itu, negara-negara besar dan lembaga
donor mendukungnya (Bahari, 2004).
Namun setelah
era tersebut, land reform tampaknya
tidak lagi menjadi prioritas. Lembaga donor lebih tertarik untuk
mengimplementasikan program industrialisasi di negara-negara berkembang
dibandingkan land reform. Kebijakan
ini dipilih karena resikonya lebih kecil, dan tidak menimbulkan gejolak politik
yang mahal. Sebagai negara berkembang, sebagian modal pembangunan Indonesia
berasal dari pinjaman dari lembaga asing. Lembaga donor tersebut berkuasa untuk
mengontrol penggunaan pinjaman tersebut. Keterbatasan anggaran merupakan satu
alasan pokok mengapa pemerintahan Orde Baru tidak memilih program land reform yang biayanya besar dan
hasilnya belum tampak dalam jangka pendek. Sebaliknya, karena tekanan ekonomi
kapitalis, maka tanah dijadikan komoditas untuk menarik investor asing
menanamkan modalnya, misalnya dengan regulasi dalam pengembangan perkebunan besar
swasta.
Dalam beberapa
kasus dijumpai bantuan langsung pemerintah dalam pembiayaan pensertifikatan
tanah, misalnya melalui program nasional (PRONA). Namun yang dibutuhkan
sesungguhnya adalah tersedianya kredit lunak bagi petani untuk mendapatkan
lahan (Syahyuti, 2004).
Berdasarkan
uraian di atas, maka menurut saya apabila pemerintah ingin melaksanakan land reform maka pelaksanaannya harus
dilakukan secara penuh, terorganisir dengan baik, pengawasan yang baik juga,
dan evaluasinya harus tepat serta komitmen pemerintah dan pihak lain yang
terlibat harus dipertahankan. Jika memang berpihak kepada petani maka semuanya harus
bersih dari unsur kepentingan politik dan pribadi. Selain itu, saya kurang
setuju dengan kendala nomor 3 dan 4 yaitu tentang masalah data pertanahan dan
alokasi anggaran yang kecil. Karena menurut saya, hal-hal tersebut bukanlah
suatu kendala. Alokasi anggaran yang kecil untuk land reform menunjukkan bahwa pertanian kurang diperhatikan padahal
pertanian merupakan sektor penting di Negara kita. Satu hal lagi yang
diperlukan yaitu organisasi petani yang kuat yang bukan hanya berisi petani-petani yang sudah
sejahtera saja namun juga harus melibatkan petani-petani kecil sehingga
benar-benar organisasi petani merupakan gambaran nyata dari potret petani kita
secara keseluruhan dan diharapkan dapat berintegrasi secara kuat sehingga
kepentingan-kepentingan demi kesejahteraan petani dapat terpenuhi.
KESIMPULAN
Beberapa hal
yang bisa disimpulkan dari pembahasan di atas yaitu:
1. Walaupun
traditional land reform hampir tidak
optimal dalam hal efisiensi produktivitas, collectives
and co-operative farms, namun masih bisa bertahan untuk waktu yang lama
dalam suatu karakteristik lingkungan yang secara signifikan menunjukkan pasar
tidak sempurna.
2. Alih
fungsi pasar lahan dalam wilayah pedesaan yang merupakan salah satu tantangan pokok
dari sekian banyak tantangan yang harus diusahakan pada land reform, memerlukan suatu kerangka tertentu mengenai wilayah
tersebut dan dapat diakses dengan mudah serta transparansi dari lembaga terkait
yang seringkali hal-hal tersebut tidak dapat dipenuhi.
3. Pendirian
lingkungan institusional hanya akan menambah kepuasan material saja dari cadastres.
4. Pelaksanaan
land reform harus didukung oleh akses
kredit dan akses pasar. Kedua hal ini menjadi tantangan bagi family farms sehingga memang diperlukan
perbaikan. Namun selain hal-hal tersebut, juga perlu dukungan dari semua pihak
yang terlibat dalam pelaksanaan land
reform itu sendiri.
5. Komitmen
yang kuat dari pemerintah juga sangat diharapkan bagi keberhasilan pelaksanaan land reform.
6. Pelaksanaan
land reform di Indonesia juga
menghadapi kendala yang sama dengan Negara CEE dan CIS, namun di Indonesia juga
mengalami kendala ketersediaan data yang kurang tentang pertanahan serta
alokasi anggaran yang kecil untuk pelaksanaan land reform.
7. Organisasi
petani yang kuat memang sangat diperlukan guna untuk mengakses
kebutuhan-kebutuhan bagi pertanian seperti akses kredit dan pasar sehingga
diharapkan dapat tercapai suatu kesejahteraan. Namun organisasi petani yang
dimaksud yaitu berisi seluruh petani baik petani kecil maupun besar dan
semuanya memiliki hak yang sama dalam hal penyaluran aspirasinya demi
kesejahteraan.
DAFTAR PUSTAKA
Deininger, Klaus. 2002. Agrarian Reforms In Eastern
European Countries: Lessons From International Experience. J.Int.Dev 14, 1987-1003.
Syahyuti. 2004. Kendala Pelaksanaan Land reform Di Indonesia: Analisa
terhadap Kondisi dan Perkembangan Berbagai Faktor Prasyarat Pelaksanaan Reforma
Agraria. Forum Penelitian Agro Ekonomi
volume 22 No.2: 89-101.
Wiradi, Gunawan. 2012. Masalah Pembaruan Agraria:
Dampak Land reform terhadap
Perekonomian Negara. Yayasan Kekal
Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar