Macroeconomic
Trouble and Policy Challenges in The Wake of Financial Bust
Artikel
Asensio (2011) yang berjudul “Macroeconomic
Trouble and Policy Challenges in the wake of The Financial Bust” memaparkan
kondisi perekonomian dunia yang sedang dilanda krisis mulai tahun 2008 hingga
saat ini serta tantangan-tantangan baru yang akan dihadapi oleh pemerintah dan
bank sentral dalam hal penetapan kebijakan/regulasi yang tepat untuk memulihkan
keadaan perekonomian yang sedang dilanda krisis tersebut (disintegrasi sistem
keuangan). Intervensi pemerintah dalam menangani krisis keuangan yaitu dengan
cara merangsang likuiditas yang besar-besaran dengan harapan kelebihan
likuiditas bisa menyebabkan tekanan inflasi sehingga merangsang pemerintah dan
bank sentral untuk membuat suatu kebijakan moneter dan fiskal yang ketat yang
bertujuan untuk memulihkan kondisi perekonomian
(krisis keuangan).
Krisis
keuangan yang terjadi sejak akhir 2008 hingga kini, bukan merupakan krisis yang
pertama kali terjadi di dunia internasional, melainkan telah ada sebelumnya
sejak abad ke 18. Menurut Davidson (2008,2009), penyebab dari krisis keuangan
yang dipicu oleh subprime yaitu
adanya kegagalan dalam penetapan kebijakan/regulasi. Sehingga diperlukan suatu
kebijakan yang bisa melindungi sistem keuangan, dalam hal ini kebijakan untuk
mendorong permintaan agregat. Dinamika permintaan agregat menentukan jalur
pertumbuhan ekonomi setelah krisis, dimana dinamika permintaan agregat itu
sendiri dipengaruhi oleh kondisi pembiayaan. Namun, pihak perusahaan dan rumah
tangga mengalami kesulitan dalam hal pembiayaan karena lembaga keuangan
menetapkan tingkat suku bunga yang relatif tinggi serta sikap yang selektif
dalam hal pemberian kredit. Situasi ini akan berdampak pada sikap perusahaan
dan rumah tangga untuk mengurangi pengeluaran mereka, sehingga menyebabkan kurangnya
investasi modal yang pada akhirnya
menjadi penyebab terjadinyas kemunduran/kelesuan dalam berwirausaha serta
penurunan tingkat permintaan agregat. Dengan demikian, perlunya kebijakan yang
baru dan dukungan publik untuk meningkatkan permintaan agregat.
Asensio
mencoba membuat suatu gambaran buruk yang mungkin terjadi pada saat proses
pemulihan berlangsung yaitu dimana dukungan publik dan dinamika permintaan yang
lemah sehingga pemerintah kesulitan untuk menyeimbangkan anggaran (terjadi defisit
anggaran yang abadi) yang akhirnya semakin meningkatkan utang publik.
Kelebihan Jumlah
Uang
Likuiditas
yang berlebih digunakan untuk membiayai pembelian pribadi terutama dalam
pembelian rumah dan investasi perumahan, sehingga terjadi gelembung di sektor
perumahan. Ketika gelembung pecah dan nilai riil serta aset riil ambruk,
kelebihan uang yang beredar menyebabkan meningkatnya permintaan likuiditas. Kelebihan
likuiditas memicu terjadinya permintaan agregat yang berlebih sehingga menyebabkan perubahan pada tingkat
harga. Kondisi di atas menunjukkan terjadinya inflasi yang disebut dengan
inflasi tarikan permintaan. Sehingga tindakan apa yang harus dilakukan oleh
bank sentral dalam mengatur peredaran jumlah uang yang berlebih tersebut.
Sebenarnya, untuk menekan inflasi tersebut bisa dilakukan dengan cara
mengurangi keinginan likuiditas. Namun yang menjadi permasalahannya yaitu
apakah tindakan tersebut dijamin tidak akan mengganggu sistem keuangan.
Sehingga situasi seperti ini berdampak pada keputusan bank sentral itu sendiri (menekan
inflasi atau menjaga kestabilan sistem keuangan).
Membatasi
Kebijakan Fiskal merupakan suatu Ancaman
Asensio
mencoba membandingkan konsep dari Fiscal
Orhodoxy dan Intervensi ala Keynes dalam konteks setelah krisis, dimana
pengikut Fiscal Orhodoxy menyarankan
untuk membatasi kebijakan fiskal yang berarti
mengurangi defisit anggaran (meningkatkan surplus anggaran) yang
bertujuan untuk mengurangi utang. Namun konsep ini tidak mungkin diterapkan
saat kondisi perekonomian sedang tertekan (sedang dalam masa pemulihan). Jika
surplus anggaran tetap dipaksakan (mengurangai pengeluaran (belanja) pemerintah)
maka yang akan terjadi yaitu tekanan terhadap pendapatan fiskal. Berbeda dengan
intervensi yang disarankan oleh Keynes
dimana kebijakan fiskal tidak dibatasi dengan kata lain menerapkan kebijakan
fiskal yang ekspansif mungkin saja perekonomian akan segera membaik.
Beberapa
faktor yang menyebabkan kebijakan ekspansif efektif untuk memulihkan
perekonomian setelah mengalami masa krisis yaitu:
1)
Dukungan
publik untuk membantu memulihkan profitabilitas seperti yang diharapkan oleh
investasi swasta yang produktif.
2)
Dalam
kondisi pemulihan ekonomi, hutang yang belum bisa dibayarkan akan menjadi
rendah.
3)
Pemulihan
ekonomi yang kuat akan mendorong pendapatan fiskal yang dapat membantu
pemerintah mensosialisasikan kerugian yang telah dialami tanpa harus
meningkatkan pajak.
KRITIK
Intervensi
yang dilakukan oleh pemerintah dan bank sentral dalam menghentikan disintegrasi
sistem keuangan merupakan salah satu bentuk perhatian dari pemerintah dan bank
sentral dalam menangani krisis keuangan yang sedang melanda sistem perekonomian
dunia saat ini. Ini menjadi tantangan bagi pemerintah untuk menetapkan kebijakan
fiskal dan juga merupakan tantangan bagi bank sentral untuk menetapakan kebijakan
moneter yang tepat. Pemerintah dan bank sentral juga dihadapkan pada pilihan
untuk membiarkan inflasi tetap tinggi dan mengurangi pengangguran ataukah
menekan laju inflasi dan membiarkan tingkat pengangguran yang tinggi.
Seperti
pada bagian sebelumnya, telah dijelaskan bahwa berlebihnya jumlah uang yang
beredar menyebabkan ketidakstabilan harga sehingga berdampak pada inflasi. Oleh
karena itu, diperlukan otoritas moneter (bank sentral) untuk mengatur
keseimbangan antara persediaan uang dengan persediaan barang dan perumahan agar
inflasi dapat terkendali. Menurut Keynes, inflasi terjadi karena suatu
masyarakat ingin hidup diluar batas kemampuan ekonominya. Dalam kasus ini,
sektor swasta melakukan investasi perumahan dengan modal yang diperoleh dari
kredit bank. Seperti yang dikemukakan oleh Keynes dimana untuk memulihkan
kondisi perekonomian yaitu dengan menyeimbangkan pengeluaran publik dan
pengeluaran pemerintah dimana pemerintah harus memastikan uang tetap beredar
dalam arus consumption sequence dan investment sequence (Brown, 1995:57),
kenaikan investasi harus dibarengi dengan kenaikan konsumsi (keinginan untuk
membeli barang). Ketika keinginan membeli barang berkurang sementara investasi
tetap meninggi, ini berisiko krisis.. Tapi ketika keinginan membeli barang
berkurang tetapi pemerintah mampu menambah konsumsinya, maka tercipta
kestabilan ekonomi (krisis bisa dihindarkan). Dalam kondisi yang seperti ini,
otoritas fiskal (pemerintah) diperlukan Sehingga pembatasan fiskal tidak
mungkin dilakukan karena hanya akan mengancam perekonomian yang memang belum
kembali pulih. Karena pembatasan fiskal berarti pengurangan belanja pemerintah
yang berakibat tekanan dalam pendapatan fiskal dan akhirnya perekonomian tidak
akan cepat pulih.
Kondisi
yang kita harapkan yaitu kondisi pemulihan ekonomi yang cepat dan itu hanya
akan terwujud jika ada dukungan dari semua pihak mulai dari masyarakat,
pemerintah, dan bank sentral. Dukungan dari publik (masyarakat) dalam hal
peningkatan permintaan agregat akan menyeimbangkan anggaran pemerintah sehingga
bisa mengurangi hutang publik. Peningkatan permintaan agregat dirangsang oleh
turunnya tingkat suku bunga (otoritas moneter) dengan cara menaikkan jumlah
uang yang beredar (The Fed), namun jumlah uang yang beredar tersebut dipastikan
tetap dalam arus consumption sequence
dan investment sequence (Brown).
KESIMPULAN DAN
IMPLIKASI
Dalam
rangka pemulihan ekonomi, diperlukan adanya intervensi oleh pihak-pihak yang
memiliki otoritas. Otoritas yang dimaksud yaitu otoritas fiskal (pemerintah) dan
moneter (bank sentral). Dalam kasus di atas, bank sentral sebaiknya menetapkan
tingkat suku bunga yang rendah untuk merangsang investasi dan pengingkatan permintaan
agregat. Namun mekanisme peningkatan suku bunga ialah dengan menaikkan jumlah
uang yang beredar namun dijaga agar jumlah uang yang beredar tersebut masih
dalam lingkup consumption sequence
dan investment sequence sehingga
inflasi dapat ditekan. Kenaikan investasi harus dibarengi dengan kenaikan
konsumsi (keinginan untuk membeli barang). Ketika keinginan membeli barang
berkurang sementara investasi tetap meninggi, ini berisiko krisis.. Tapi ketika
keinginan membeli barang berkurang tetapi pemerintah mampu menambah
konsumsinya, maka tercipta kestabilan ekonomi (krisis bisa dihindarkan). Peningkatan
dalam pengeluaran pemerintah menyebabkan peningkatan pendapatan fiskal. Peningkatan permintaan agregat bisa berdampak
pada peningkatan faktor-faktor produksi. Berarti, sumberdaya yang ada bisa
dialokasikan untuk memenuhi permintaan agregat tersebut. Dengan demikian,
kesempatan kerja terbuka sehingga tingkat pengangguran dapat berkurang.
DAFTAR PUSTAKA
Anonimous. Teori Ekonomi Inflasi. http://www.scribd.com/doc/34618397/Teori-Ekonomi-Inflasi
diakses pada 17November 2011
Anonimous.
2010. Krisis Ekonomi Global. http://petikdua.wordpress.com/2010/04/18/krisis-ekonomi-global-2008-2009/
diakses pada 17 November 2011
Davidson, P.
(2008) “Is the current financial distrees
caused by the subprime mortagage crisis a Minsky moment? Or is it the result of
attempting to securitize illiquid non commercial mortgage loans?’, Journal
of Post Keynesian Economics, 30.
Dornbusch.,
Rudiger, dkk. 2008. Makroekonomi
(terjemahan). Jakarta: PT.Media Global Edukasi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar