Minggu, 22 April 2012

Masalah Makroekonomi dan Tantangan Kebijakan (Critical Review)


Macroeconomic Trouble and Policy Challenges in The Wake of Financial Bust
Artikel Asensio (2011) yang berjudul “Macroeconomic Trouble and Policy Challenges in the wake of The Financial Bust” memaparkan kondisi perekonomian dunia yang sedang dilanda krisis mulai tahun 2008 hingga saat ini serta tantangan-tantangan baru yang akan dihadapi oleh pemerintah dan bank sentral dalam hal penetapan kebijakan/regulasi yang tepat untuk memulihkan keadaan perekonomian yang sedang dilanda krisis tersebut (disintegrasi sistem keuangan). Intervensi pemerintah dalam menangani krisis keuangan yaitu dengan cara merangsang likuiditas yang besar-besaran dengan harapan kelebihan likuiditas bisa menyebabkan tekanan inflasi sehingga merangsang pemerintah dan bank sentral untuk membuat suatu kebijakan moneter dan fiskal yang ketat yang bertujuan untuk memulihkan  kondisi perekonomian (krisis keuangan).
Krisis keuangan yang terjadi sejak akhir 2008 hingga kini, bukan merupakan krisis yang pertama kali terjadi di dunia internasional, melainkan telah ada sebelumnya sejak abad ke 18. Menurut Davidson (2008,2009), penyebab dari krisis keuangan yang dipicu oleh subprime yaitu adanya kegagalan dalam penetapan kebijakan/regulasi. Sehingga diperlukan suatu kebijakan yang bisa melindungi sistem keuangan, dalam hal ini kebijakan untuk mendorong permintaan agregat. Dinamika permintaan agregat menentukan jalur pertumbuhan ekonomi setelah krisis, dimana dinamika permintaan agregat itu sendiri dipengaruhi oleh kondisi pembiayaan. Namun, pihak perusahaan dan rumah tangga mengalami kesulitan dalam hal pembiayaan karena lembaga keuangan menetapkan tingkat suku bunga yang relatif tinggi serta sikap yang selektif dalam hal pemberian kredit. Situasi ini akan berdampak pada sikap perusahaan dan rumah tangga untuk mengurangi pengeluaran mereka, sehingga menyebabkan kurangnya investasi modal  yang pada akhirnya menjadi penyebab terjadinyas kemunduran/kelesuan dalam berwirausaha serta penurunan tingkat permintaan agregat. Dengan demikian, perlunya kebijakan yang baru dan dukungan publik untuk meningkatkan permintaan agregat.
Asensio mencoba membuat suatu gambaran buruk yang mungkin terjadi pada saat proses pemulihan berlangsung yaitu dimana dukungan publik dan dinamika permintaan yang lemah sehingga pemerintah kesulitan untuk menyeimbangkan anggaran (terjadi defisit anggaran yang abadi) yang akhirnya semakin meningkatkan utang publik.
Kelebihan Jumlah Uang
Likuiditas yang berlebih digunakan untuk membiayai pembelian pribadi terutama dalam pembelian rumah dan investasi perumahan, sehingga terjadi gelembung di sektor perumahan. Ketika gelembung pecah dan nilai riil serta aset riil ambruk, kelebihan uang yang beredar menyebabkan meningkatnya permintaan likuiditas. Kelebihan likuiditas memicu terjadinya permintaan agregat yang berlebih  sehingga menyebabkan perubahan pada tingkat harga. Kondisi di atas menunjukkan terjadinya inflasi yang disebut dengan inflasi tarikan permintaan. Sehingga tindakan apa yang harus dilakukan oleh bank sentral dalam mengatur peredaran jumlah uang yang berlebih tersebut. Sebenarnya, untuk menekan inflasi tersebut bisa dilakukan dengan cara mengurangi keinginan likuiditas. Namun yang menjadi permasalahannya yaitu apakah tindakan tersebut dijamin tidak akan mengganggu sistem keuangan. Sehingga situasi seperti ini berdampak pada keputusan bank sentral itu sendiri (menekan inflasi atau menjaga kestabilan sistem keuangan).
Membatasi Kebijakan Fiskal merupakan suatu Ancaman
Asensio mencoba membandingkan konsep dari Fiscal Orhodoxy dan Intervensi ala Keynes dalam konteks setelah krisis, dimana pengikut Fiscal Orhodoxy menyarankan untuk membatasi kebijakan fiskal yang berarti  mengurangi defisit anggaran (meningkatkan surplus anggaran) yang bertujuan untuk mengurangi utang. Namun konsep ini tidak mungkin diterapkan saat kondisi perekonomian sedang tertekan (sedang dalam masa pemulihan). Jika surplus anggaran tetap dipaksakan (mengurangai pengeluaran (belanja) pemerintah) maka yang akan terjadi yaitu tekanan terhadap pendapatan fiskal. Berbeda dengan intervensi yang disarankan oleh  Keynes dimana kebijakan fiskal tidak dibatasi dengan kata lain menerapkan kebijakan fiskal yang ekspansif mungkin saja perekonomian akan segera membaik.
Beberapa faktor yang menyebabkan kebijakan ekspansif efektif untuk memulihkan perekonomian setelah mengalami masa krisis yaitu:
1)      Dukungan publik untuk membantu memulihkan profitabilitas seperti yang diharapkan oleh investasi swasta yang produktif.
2)      Dalam kondisi pemulihan ekonomi, hutang yang belum bisa dibayarkan akan menjadi rendah.
3)      Pemulihan ekonomi yang kuat akan mendorong pendapatan fiskal yang dapat membantu pemerintah mensosialisasikan kerugian yang telah dialami tanpa harus meningkatkan pajak.






KRITIK
Intervensi yang dilakukan oleh pemerintah dan bank sentral dalam menghentikan disintegrasi sistem keuangan merupakan salah satu bentuk perhatian dari pemerintah dan bank sentral dalam menangani krisis keuangan yang sedang melanda sistem perekonomian dunia saat ini. Ini menjadi tantangan bagi pemerintah untuk menetapkan kebijakan fiskal dan juga merupakan tantangan bagi bank sentral untuk menetapakan kebijakan moneter yang tepat. Pemerintah dan bank sentral juga dihadapkan pada pilihan untuk membiarkan inflasi tetap tinggi dan mengurangi pengangguran ataukah menekan laju inflasi dan membiarkan tingkat pengangguran yang tinggi.
Seperti pada bagian sebelumnya, telah dijelaskan bahwa berlebihnya jumlah uang yang beredar menyebabkan ketidakstabilan harga sehingga berdampak pada inflasi. Oleh karena itu, diperlukan otoritas moneter (bank sentral) untuk mengatur keseimbangan antara persediaan uang dengan persediaan barang dan perumahan agar inflasi dapat terkendali. Menurut Keynes, inflasi terjadi karena suatu masyarakat ingin hidup diluar batas kemampuan ekonominya. Dalam kasus ini, sektor swasta melakukan investasi perumahan dengan modal yang diperoleh dari kredit bank. Seperti yang dikemukakan oleh Keynes dimana untuk memulihkan kondisi perekonomian yaitu dengan menyeimbangkan pengeluaran publik dan pengeluaran pemerintah dimana pemerintah harus memastikan uang tetap beredar dalam arus consumption sequence dan investment sequence (Brown, 1995:57), kenaikan investasi harus dibarengi dengan kenaikan konsumsi (keinginan untuk membeli barang). Ketika keinginan membeli barang berkurang sementara investasi tetap meninggi, ini berisiko krisis.. Tapi ketika keinginan membeli barang berkurang tetapi pemerintah mampu menambah konsumsinya, maka tercipta kestabilan ekonomi (krisis bisa dihindarkan). Dalam kondisi yang seperti ini, otoritas fiskal (pemerintah) diperlukan Sehingga pembatasan fiskal tidak mungkin dilakukan karena hanya akan mengancam perekonomian yang memang belum kembali pulih. Karena pembatasan fiskal berarti pengurangan belanja pemerintah yang berakibat tekanan dalam pendapatan fiskal dan akhirnya perekonomian tidak akan cepat pulih.
Kondisi yang kita harapkan yaitu kondisi pemulihan ekonomi yang cepat dan itu hanya akan terwujud jika ada dukungan dari semua pihak mulai dari masyarakat, pemerintah, dan bank sentral. Dukungan dari publik (masyarakat) dalam hal peningkatan permintaan agregat akan menyeimbangkan anggaran pemerintah sehingga bisa mengurangi hutang publik. Peningkatan permintaan agregat dirangsang oleh turunnya tingkat suku bunga (otoritas moneter) dengan cara menaikkan jumlah uang yang beredar (The Fed), namun jumlah uang yang beredar tersebut dipastikan tetap dalam arus consumption sequence dan investment sequence (Brown).

KESIMPULAN DAN IMPLIKASI
Dalam rangka pemulihan ekonomi, diperlukan adanya intervensi oleh pihak-pihak yang memiliki otoritas. Otoritas yang dimaksud yaitu otoritas fiskal (pemerintah) dan moneter (bank sentral). Dalam kasus di atas, bank sentral sebaiknya menetapkan tingkat suku bunga yang rendah untuk merangsang investasi dan pengingkatan permintaan agregat. Namun mekanisme peningkatan suku bunga ialah dengan menaikkan jumlah uang yang beredar namun dijaga agar jumlah uang yang beredar tersebut masih dalam lingkup consumption sequence dan investment sequence sehingga inflasi dapat ditekan. Kenaikan investasi harus dibarengi dengan kenaikan konsumsi (keinginan untuk membeli barang). Ketika keinginan membeli barang berkurang sementara investasi tetap meninggi, ini berisiko krisis.. Tapi ketika keinginan membeli barang berkurang tetapi pemerintah mampu menambah konsumsinya, maka tercipta kestabilan ekonomi (krisis bisa dihindarkan). Peningkatan dalam pengeluaran pemerintah menyebabkan peningkatan pendapatan fiskal.  Peningkatan permintaan agregat bisa berdampak pada peningkatan faktor-faktor produksi. Berarti, sumberdaya yang ada bisa dialokasikan untuk memenuhi permintaan agregat tersebut. Dengan demikian, kesempatan kerja terbuka sehingga tingkat pengangguran dapat berkurang.


DAFTAR PUSTAKA
Anonimous. 2010. Krisis Ekonomi Global. http://petikdua.wordpress.com/2010/04/18/krisis-ekonomi-global-2008-2009/ diakses pada 17 November 2011
Davidson, P. (2008) “Is the current financial distrees caused by the subprime mortagage crisis a Minsky moment? Or is it the result of attempting to securitize illiquid non commercial mortgage loans?’, Journal of Post Keynesian Economics, 30.
Dornbusch., Rudiger, dkk. 2008. Makroekonomi (terjemahan). Jakarta: PT.Media Global Edukasi


Tidak ada komentar:

Posting Komentar